Kamis, 14 November 2013

Yok latihan buat Cerita Pendek (Cerpen)

sebelumnya maaf kalau ceritanya garing banget, namanya juga baru pertama nulis cepen.... Lets read it guys :) :)



Jumat Kliwon
Karya : Irawan Budi Santoso
            “Sya, ini malam apa sih? Kok gue mrinding banget !”  Cintia berbisik lirih pada Tasya seakan ada sesuatu yang dia lihat, sejenak Tasya pun juga ikut merinding ,        
            ”Kenapa emangnya sih Cin? Parno amat kamu!”  Tasya menjawab bisikan Cintia yang nyalinya semakin menciut pada malam itu.
            “Ah, gue beneran nih, malem apa sih ni?” suara Cintia semakin lirih saat ia merasa semakin takut,
             “Ini malam Jumat kliwon Cin? Emangnya ada apa sih?” Tasya berbalik berbisik kepada Cintia,
            “Ah, yang bener lo Sya? Jangan nakutin gue ah, gue kan penakut banget Sya,”  dengan nada yang semakin lirih dia menepuk punggung Tasya,
             “Sya, gue takut banget, bulu kuduk gue merinding semua nih, Reihan sama Nino dimana sih?” Cintia menanyakan  keberadaan Nino dan Reihan dengan mata yang menyipit.
             “O, itu Sya Reihan ma Nino baru cari kayu bakar buat kita bakar nih ayam jago, kamu mau nyusul?” Tasya meledek Cintia yang pada waktu itu memang sudah kehilangan nyalinya. Kemudian di tengah hutan lebat dan jarang dimasuki orang, Reihan dan Nino nekat mencari kayu bakar. Mereka berdua memang keras kepala, sudah diperingatkan oleh kakek-kakek tua dengan jenggot yang panjang dan aneh, tetap saja mereka tidak menggubris perkataan kakek tua yang sebenarnya adalah penunggu hutan Jamantra yang terkenal angker dan sangat berbahaya.
            ”Hai anak muda, kalian mau kemana?” dengan nada tua kakek-kakek itu melontarkan sebingah pertanyaan pada kedua anak muda yang tak lain adalah Nino dan Reihan,
“ Kami mau cari kayu bakar kek dihutan ini, memangnya kenapa kek?” dengan santai pemuda-pemuda itu menjawab pertanyaan kakek-kakek itu. Kemudian kakek-kakek itu berkata,
            “Kalian jangan pernah sekali-sekali berkeliaraan di hutan ini, kalau kalian tidak ingin celaka,” dengan nada yang semakin meninggi kakek-kakek tua itu memperingatkan dua lelaki yang nekat mencari kayu bakar di tengah hutan yang sangat lebat dan angker pada malam yang selarut itu. Perasaan mereka masih biasa saja, tidak menganggap serius perkataan kakek tua.
            “Ah, kakek-kakek tua ini merepotkan saja, tua gini tau apaan sih, ya gak bro? Lagian malem-malem gini mau ngapain kek?, gak ada kerjaan kali ya kek? hahaha” balas Reihan pada kakek-kakek tua yang telah memperingatkan  Reihan dan Nino,
             “Yoi bro, kakek-kakek tua gini tahunya cuma makan minum tidur, palingan bentar lagi juga mokat,” dengan berkata-kata sambil tertawa Nino menanggapi perkataan Reihan.
            “Kalian akan menerima apa yang telah kalian perbuat, jaga diri kalian masing-masing,” dengan nada yang semakin menyepi kakek-kakek tua itu seketika menghilang bagai ditelan bumi,
            “Ah nggak usah pikirin orang tua aneh itu, yok kita lanjutin cari kayu bakarnya,” ajak Reihan. Di tengah-tengah hutan lebat dan angker Reihan terus menembus rimbunnya hutan Jamantra semakin dalam, tanpa menggubris peringatan kakek-kakek tua itu. Memang pada malam itu adalah malam Jumat, tepatnya adalah malam Jumat Kliwon, malam yang banyak dianggap masyarakat sebagai malam yang menyeramkan sekaligus sebagai malam yang keramat.
            “Eh No, lo inget nggak ni malem apaan?” tanya Reihan pada Nino dengan nada yang melemah,
            ”Ni malem Jumat Han, mangnya napa?” dengan tanpa ada rasa penasaran Nino menjawab pertanyaan Reihan,
            “Apa? Malem Jumat lo kata? Jumat apa No?” Reihan semakin penasran dan rasa beraninya untuk menembus lebatnya hutan Jamantra menjadi menyusut diikuti dengan nyalinya yang semakin menipis digerogoti rasa takutnya.
            “Jawab No, ni malem Jumat apaan, ah lo makin buat gue penasaran aja,” nada memaksa keluar dari mulut Reihan, kemudian Nino menjawabnya,
             “Ni malem Jumat kliwon Han,” dengan nada percaya diri Nino menyontakkan kata-kata itu pada Reihan, tak lama setelah itu Nino terdiam sejenak dan berpikir akan kata-katanya, rupanya dia mulai menyadari perkataanya yang tadi.
            “Tunggu Han, gue tadi bilang apa?” Nino berbisik pada Reihan yang pada saat itu sudah mulai menipis ketebalan nyalinya,
             “Ah, gimana si lo No, lo kan tadi bilang ni malem Jumat Kliwon,” jengkel pada Nino, Reihan bilang itu sambil memoles kepala Nino.
            “Lo tahu nggak mitos ni hutan?” tanya Nino pada Reihan dengan nada yang lirih, seakan sudah pergi nyalinya entah kemana,
            “Konon Han, di hutan Jamantra ni kalo kita pergi malem-malem di hutan ini, kita bakal dihantui banyak penunggu hutan ini Han,” Nino mantab mengatakan hal itu dengan nada yang keras, kemudian  Reihan menanggapi kata-kata Nino,
            “ Ah, jangan asal bicara lo No, gue hajar lo, lo mau nakautin gue?” merasa jengkel sekaligus takut pada argumennya Nino.
            “Gue gak bohong Han, gue berani sumpah,kalo lo gak percaya coba lo tanyain ma mbah Google deh,” Nino memantabkan argumennya tentang mitos hutan Jamantra,
            “Oke, gue cek mitos yang lo kata, kalo sampe lo boong, gue hajar beneran lo.” Kemudian Reihan mengambil ponsel dari kantong sakunya dan langsung membukanya, mereka berdua terkejut saat Reihan membuka ponselnya dan muncul pesan berdarah, “Kalian harus mati,” pada ponsel Reihan. Serentak pesan itu membuat  kedua pemuda itu hilang nyalinya sama sekali tak ada yang tersisa, bahkan yang kini timbul dalam hati mereka hanyalah rasa takut yang amat luar biasa  menyelimuti hati dan pikiran mereka.
            “Gimana ni Han, gue nggak mau mati konyol disini,” rasa takut yang luar biasa membuat Nino gemetar dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
            “Han, mending kita balik ke tenda sekarang, gue takut banget nih,” ajak Nino yang dalam hatinya semakin dibalut dengan rasa takut yang menghampiri hati dan jiwanya.
            “Ya udah, gue juga gak mau mati konyol disini men, yok kita balik ke tenda sekarang,” kemudian mereka mencari jalan untuk kembali ke tenda yang mereka dirikan di dekat pohon besar di pinggir hutan, akan tetapi mereka menemukan kendala, mereka tersesat.
            “Lo yakin No kita tadi lewat sini?” dengan nada yang terengah-engah Reihan meyakinkan pada Nino, “Gua yakin Han, kita tadi lewat sini.” Waktu menunjukkan pukul 00:20, Reihan dan Nino masih berdebat mencari jalan menuju ke tenda. Sementara itu di tenda, Cintia dan Tasya cemas dan gelisah memikirkan keselamatan Nino dan Reihan yang sedang mencari kayu bakar.
            “Cin, gimana kalo kita nyusul mereka aja,” dengan nada cemas Tasya mengajak  Cintia menysul Reihan dan Nino ke dalam hutan.
            “Lo dah gila Sya, ni tu dah jam berapa? Kalo kita ketemu hewan buas trus kita dimakan gimana, mau lo?” Cintia yang jengkel dengan perkataan Tasya. Di luar tenda ada suara mendesah memanggil nama kedua gadis itu,
             “Tasyaaa, Cintiaaa,” demikian suara itu berulang-ulang terus-menerus. Penasaran keduanya berdebat untuk melihat ke luar tenda, akhirnya mereka berdua keluar untuk melihat apa yang ada di luar tenda. Di lain tempat Reihan dan Nino sedang sibuk mencari jalan keluar menuju tenda mereka, mereka semakin tersesat dan semakin dalam memembus kelebatan hutan Jamantra dengan suasana yang semakin mencekam dan mencekik batin mereka, dan semakin mencekik batin mereka ketika terdengar suara burung hantu di dekat mereka. Lalu sampailah mereka di sebuah tempat yang sangat menyeramkan, di sebuah rumah tua yang sangat usang. Mereka mendekati rumah itu, lalu mereka memasuki rumah tua yang seram itu dengan perasaan takut yang sangat luar biasa menekan mental mereka. Seketika saat Reihan dan Nino masuk ke rumah tua itu, tiba-tiba rumah itu menjadi sebuah kuburan yang sangat mencekam batin mereka, sadar dengan hal itu mereka berdua terkejut dan merasa syok yang amat mencekik otak.
            “Ah, sialan No, ni kan kuburan No! Gimana No nasib kita?” ketakutan Reihan semakin memuncak kaetika dia memandang sekeliling kuburan itu.
            “Gua juga nggak tahu Han, pokonya kita harus cari jalan keluar ke tenda kita, gimanapun caranya kita harus bisa keluar dari hutan sialan ini. Ni akibanya kita tadi gak mau dengerin nasehat tuh kakek tua.” Saat Nino marah-marah dengan situasi yang sedang memperangkapnya, Reihan memandangi sekeliling kuburan itu, bawah atas kanan kiri depan belakang, ia lihat dengan perasaan yang sangat tidak enak serta keringat dingin yang semakin deras mengalir. Saat ia menoleh ke belakang, Reihan melihat di atas nisan ada seorang yang sedang berdiri membawa kepalanya sendiri, seketika Reihan berbisik pada Nino,
             “No,lihat di belakang lo, ada hantu gak punya kepala” bisik Reihan pada Nino dengan nada yang sangat lirih dan badan yang gemetar, dan Nino pun menoleh ke belakang,
            “Mana? Lo jangan nakut-nakutin gua deh, gak lucu tau gak Han.” Mereka berjalan melewati nisan demi nisan yang tertancap kokoh pada tanah pembaringan raga yang tidak berdaya. Tibalah mereka di sebuah makam yang sangat tua, kemudian mereka berdua mendekati makam itu perlahan lahan. Tak sadar mereka berdua sejenak duduk di atas makam itu,
            “Ah, ini gara-gara lo sih Han, lo gak mau dengerin kata-kata kakek-kakek tua itu,” tandas Nino pada Reihan,
            “Woy, nyadar bro, lo juga kan gak mau ndengerin kata-kata tuh kakek tua, ya gini jadinya,” balas Reihan.
            “Dah kita nggak usah berantem, sekarang kita harus berpikir keras buat keluar dari kuburan sialan ini.”
            “Pruk,” suara aneh dan membuat merinding bulu kuduk mereka berdua terdengar dari bahu mereka berdua,
            “Han, jangan ngagetin gua napa?” kemudian Reihan juga mengatakan hal yang sama pada Nino.
            “Gua nggak ngagetin lo bro,” kata Nino pada Reihan,
            “Trus siapa yang nepuk bahu gua?” Reihan penasaran. Serontak  mereka berdua menoleh ke belakang, mereka terkejut dengan apa yang ada di belakang mereka. sesosok hantu yang sangat menakutkan yang tak lain adalah sundel bolong. Reihan dan Nino spontan langsung lari terbirit-birit dan mereka hampir menangis dan terus berlari sekuat mereka. Di tenda, Cintia dan Tasya memutuskan untuk mencari kedua temannya, Reihan dan Nino. Mereka mulai melakukan perjalanan mencari teman-teman mereka yang sedang mencari kayu bakar setahu mereka, di tengah perjalanan mereka juga tersesat sampai ke dalam hutan yang sangat seram, hutan yang menyimpan segala misteri yang tersimpan berjuta-juta tahun yang lalu dan mereka hanya berbekal sebuah senter usang yang mereka bawa dari rumah. Sampailah Cintia dan Tasya di sebuah sumur tua di bawah pohon kenanga yang sangat besar dan beraroma sangat harum menyentak hidung siapapun yang mendekatinya. Samar-samar  Cintia melihat sesosok nenek tua yang sedang mencuci di sumur tua itu, kemudian Cintia dan Tasya bertanya-tanya dalam hati mereka, kenapa ada seorang nenek-nenek selarut itu mencuci pakaian sendirian di tempat yang seseram itu. Nenek itu pun memandang ke arah dua gadis itu dengan mata yang menyala merah, serentak hati kedua gadis itu pun menjadi kaku dan beku. Dengan perasaan takut melilhat nenek yang sebenarnya adalah hantu pohon kenanga, Cintia berteriak,
            “Hantuuuu, lari Sya, hantuuu, lari,” mereka lari terbirit-birit meninggalkan sumur tua yang sangat angker dan seram itu.
            “Sya, tungguin gua,” teriak Cintia yang terjatuh tersandung batu, tanpa pikir panjang Tasya membantu Cintia yang terjatuh untuk bangun dan kembali berlari meninggalkan sumur itu sejauh mungkin, tanpa diduga sama sekali oleh mereka ,di belakang mereka  hantu yang hanya ada kepala dan organ dalam yang terlihat terbang mengejar mereka semakin dekat. Mereka semakin kencang berlari dan semakin ketakutan.
            “iiihhhaaaa iiiihhhhaaa kalian harus tinggal bersama kami disini, iiihhhaaaa iihhhaaa,” hantu itu berteriak seperti itu pada dua gadis itu. Namun mereka tidak mengindahkan kata-kata yang terus mengikuti mereka yang seakan tidak akan ada hentinya.
Setelah berlari dan terus berlari menjauh dari sumur tua dan hantu-hantu yang menghantuinya, sampailah mereka di sebuah tempat yang agak luas. Di tempat itu Cintia dan Tasya berpelukan sembari menangis.
            “Sya, seandainya kalau kita mati di sini, aku minta maaf sama kamu kalau aku punya banyak dosa sama kamu,” bisik Cintia pada Tasya yang pada saat itu sudah pasrah. Dari arah belakang terdengar suara cekikikan anak-anak kecil yang hanya memakai popok dengan kepala gundul dan mata yang merah,         
             “Sya, lari ada tuyul, lariii Syaaaa, ayo kita pergi dari sini.” Dari arah yang berlawanan mereka bertabrakan dengan dengan Reihan dan Nino,
            “Bruukk,” suara itu terdengar saat mereka bertabrakan satu sama lain.
             “Akhirnya kita ketemu di sini temen-temen,” kata salah seorang dari mereka.
            “kita harus keluar dari hutan busuk ini, harus pokoknya,” kata Tasya kenudian diikuti anggukan semua teman-teman tasya.
            “Tring tring tring,” ponsel Tasya berbunyi, kemudian ia membukanya, serontak mereka berempat terkejut, di dalam ponsel Tasya masuk pesan berdarah yang tidak ada nomor  pengirimnya, pesan itu juga sama persis dengan pesan yang ada di ponsel Reihan yang isinya “Kalian harus mati.” Kemudian mereka saling berpelukan,
            “Oke guys, kalau seandainya kita memang harus mati di tempat ini, aku minta maaf  pada kalian atas semua salah gua, dan kita saling memaafkan satu sama lain,” kata Reihan yang sudah putus asa, dengan keadaan berpelukan dan menangis takut , di belakang mereka datang hantu-hantu yang mereka jumpai saat itu, mereka lari dengan saling bergandengan satu sama lain. Naasnya mereka terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam dan sangat curam. Mereka terjatuh ke dasar jurang dengan keadaan masih saling bergandengan, kemudian Reihan dengan kondisi yang terluka parah, dengan kakinya yang hilang separuh dan kepalanya berdarah, Reihan membisikkan beberapa kalimat pada teman-temannya,,
            “Kalian teman yang paling baik yang pernah kumiliki, aku bersyukur punya teman seperti kalian, kalian adalah teman sekaligus keluarga kedua bagiku, kalian sebagian dari hidupku, aku sayang padamu kawan, dan aku tidak pernah menyesal mengenal kalian.” Reihan membisikkan kata-kata itu dengan penuh kasih sayang yang membuat temannya menangis histeris tak kuasa menahan air mata yang terus mengalir. Sesaat kemudian mereka berempat meninggal dunia dengan keadaan yang sangat mengenaskan, dengan sebagian tubuh mereka terpisah dan sebagian tubuh mereka dimakan binatang buas. Sejak saat itu pada saat malam Jumat Kliwon banyak korban yang mati di tempat itu dengan keadaan yang mengenaskan seperti yang dialami oleh keempat pemuda itu.

Karya : Irawan Budi Santoso

Tidak ada komentar:

Posting Komentar