Jumat Kliwon
Karya
: Irawan Budi Santoso
“Sya, ini malam apa sih? Kok gue
mrinding banget !” Cintia berbisik lirih
pada Tasya seakan ada sesuatu yang dia lihat, sejenak Tasya pun juga ikut
merinding ,
”Kenapa emangnya sih Cin? Parno amat
kamu!” Tasya menjawab bisikan Cintia
yang nyalinya semakin menciut pada malam itu.
“Ah, gue beneran nih, malem apa sih
ni?” suara Cintia semakin lirih saat ia merasa semakin takut,
“Ini malam Jumat kliwon Cin? Emangnya ada apa
sih?” Tasya berbalik berbisik kepada Cintia,
“Ah, yang bener lo Sya? Jangan
nakutin gue ah, gue kan penakut banget Sya,”
dengan nada yang semakin lirih dia menepuk punggung Tasya,
“Sya, gue takut banget, bulu kuduk gue
merinding semua nih, Reihan sama Nino dimana sih?” Cintia menanyakan keberadaan Nino dan Reihan dengan mata yang menyipit.
“O, itu Sya Reihan ma Nino baru cari kayu bakar
buat kita bakar nih ayam jago, kamu mau nyusul?” Tasya meledek Cintia yang pada
waktu itu memang sudah kehilangan nyalinya. Kemudian di tengah hutan lebat dan
jarang dimasuki orang, Reihan dan Nino nekat mencari kayu bakar. Mereka berdua
memang keras kepala, sudah diperingatkan oleh kakek-kakek tua dengan jenggot
yang panjang dan aneh, tetap saja mereka tidak menggubris perkataan kakek tua
yang sebenarnya adalah penunggu hutan Jamantra yang terkenal angker dan sangat
berbahaya.
”Hai anak muda, kalian mau kemana?”
dengan nada tua kakek-kakek itu melontarkan sebingah pertanyaan pada kedua anak
muda yang tak lain adalah Nino dan Reihan,
“
Kami mau cari kayu bakar kek dihutan ini, memangnya kenapa kek?” dengan santai
pemuda-pemuda itu menjawab pertanyaan kakek-kakek itu. Kemudian kakek-kakek itu
berkata,
“Kalian jangan pernah sekali-sekali berkeliaraan
di hutan ini, kalau kalian tidak ingin celaka,” dengan nada yang semakin meninggi
kakek-kakek tua itu memperingatkan dua lelaki yang nekat mencari kayu bakar di tengah
hutan yang sangat lebat dan angker pada malam yang selarut itu. Perasaan mereka
masih biasa saja, tidak menganggap serius perkataan kakek tua.
“Ah, kakek-kakek tua ini merepotkan
saja, tua gini tau apaan sih, ya gak bro? Lagian malem-malem gini mau ngapain
kek?, gak ada kerjaan kali ya kek? hahaha” balas Reihan pada kakek-kakek tua
yang telah memperingatkan Reihan dan
Nino,
“Yoi bro, kakek-kakek tua gini tahunya cuma
makan minum tidur, palingan bentar lagi juga mokat,” dengan berkata-kata sambil
tertawa Nino menanggapi perkataan Reihan.
“Kalian akan menerima apa yang telah
kalian perbuat, jaga diri kalian masing-masing,” dengan nada yang semakin
menyepi kakek-kakek tua itu seketika menghilang bagai ditelan bumi,
“Ah nggak usah pikirin orang tua
aneh itu, yok kita lanjutin cari kayu bakarnya,” ajak Reihan. Di tengah-tengah
hutan lebat dan angker Reihan terus menembus rimbunnya hutan Jamantra semakin
dalam, tanpa menggubris peringatan kakek-kakek tua itu. Memang pada malam itu
adalah malam Jumat, tepatnya adalah malam Jumat Kliwon, malam yang banyak
dianggap masyarakat sebagai malam yang menyeramkan sekaligus sebagai malam yang
keramat.
“Eh No, lo inget nggak ni malem
apaan?” tanya Reihan pada Nino dengan nada yang melemah,
”Ni malem Jumat Han, mangnya napa?”
dengan tanpa ada rasa penasaran Nino menjawab pertanyaan Reihan,
“Apa? Malem Jumat lo kata? Jumat apa
No?” Reihan semakin penasran dan rasa beraninya untuk menembus lebatnya hutan
Jamantra menjadi menyusut diikuti dengan nyalinya yang semakin menipis
digerogoti rasa takutnya.
“Jawab No, ni malem Jumat apaan, ah
lo makin buat gue penasaran aja,” nada memaksa keluar dari mulut Reihan,
kemudian Nino menjawabnya,
“Ni malem Jumat kliwon Han,” dengan nada
percaya diri Nino menyontakkan kata-kata itu pada Reihan, tak lama setelah itu
Nino terdiam sejenak dan berpikir akan kata-katanya, rupanya dia mulai
menyadari perkataanya yang tadi.
“Tunggu Han, gue tadi bilang apa?” Nino
berbisik pada Reihan yang pada saat itu sudah mulai menipis ketebalan nyalinya,
“Ah, gimana si lo No, lo kan tadi bilang ni
malem Jumat Kliwon,” jengkel pada Nino, Reihan bilang itu sambil memoles kepala
Nino.
“Lo tahu nggak mitos ni hutan?”
tanya Nino pada Reihan dengan nada yang lirih, seakan sudah pergi nyalinya
entah kemana,
“Konon Han, di hutan Jamantra ni
kalo kita pergi malem-malem di hutan ini, kita bakal dihantui banyak penunggu
hutan ini Han,” Nino mantab mengatakan hal itu dengan nada yang keras, kemudian
Reihan menanggapi kata-kata Nino,
“ Ah, jangan asal bicara lo No, gue
hajar lo, lo mau nakautin gue?” merasa jengkel sekaligus takut pada argumennya
Nino.
“Gue gak bohong Han, gue berani
sumpah,kalo lo gak percaya coba lo tanyain ma mbah Google deh,” Nino
memantabkan argumennya tentang mitos hutan Jamantra,
“Oke, gue cek mitos yang lo kata,
kalo sampe lo boong, gue hajar beneran lo.” Kemudian Reihan mengambil ponsel
dari kantong sakunya dan langsung membukanya, mereka berdua terkejut saat
Reihan membuka ponselnya dan muncul pesan berdarah, “Kalian harus mati,” pada
ponsel Reihan. Serentak pesan itu membuat
kedua pemuda itu hilang nyalinya sama sekali tak ada yang tersisa,
bahkan yang kini timbul dalam hati mereka hanyalah rasa takut yang amat luar
biasa menyelimuti hati dan pikiran
mereka.
“Gimana ni Han, gue nggak mau mati
konyol disini,” rasa takut yang luar biasa membuat Nino gemetar dari ujung
rambut sampai ke ujung kaki.
“Han, mending kita balik ke tenda
sekarang, gue takut banget nih,” ajak Nino yang dalam hatinya semakin dibalut
dengan rasa takut yang menghampiri hati dan jiwanya.
“Ya udah, gue juga gak mau mati
konyol disini men, yok kita balik ke tenda sekarang,” kemudian mereka mencari
jalan untuk kembali ke tenda yang mereka dirikan di dekat pohon besar di
pinggir hutan, akan tetapi mereka menemukan kendala, mereka tersesat.
“Lo yakin No kita tadi lewat sini?”
dengan nada yang terengah-engah Reihan meyakinkan pada Nino, “Gua yakin Han,
kita tadi lewat sini.” Waktu menunjukkan pukul 00:20, Reihan dan Nino masih
berdebat mencari jalan menuju ke tenda. Sementara itu di tenda, Cintia dan
Tasya cemas dan gelisah memikirkan keselamatan Nino dan Reihan yang sedang
mencari kayu bakar.
“Cin, gimana kalo kita nyusul mereka
aja,” dengan nada cemas Tasya mengajak Cintia menysul Reihan dan Nino ke dalam hutan.
“Lo dah gila Sya, ni tu dah jam
berapa? Kalo kita ketemu hewan buas trus kita dimakan gimana, mau lo?” Cintia
yang jengkel dengan perkataan Tasya. Di luar tenda ada suara mendesah memanggil
nama kedua gadis itu,
“Tasyaaa, Cintiaaa,” demikian suara itu
berulang-ulang terus-menerus. Penasaran keduanya berdebat untuk melihat ke luar
tenda, akhirnya mereka berdua keluar untuk melihat apa yang ada di luar tenda. Di
lain tempat Reihan dan Nino sedang sibuk mencari jalan keluar menuju tenda
mereka, mereka semakin tersesat dan semakin dalam memembus kelebatan hutan Jamantra
dengan suasana yang semakin mencekam dan mencekik batin mereka, dan semakin
mencekik batin mereka ketika terdengar suara burung hantu di dekat mereka. Lalu
sampailah mereka di sebuah tempat yang sangat menyeramkan, di sebuah rumah tua
yang sangat usang. Mereka mendekati rumah itu, lalu mereka memasuki rumah tua
yang seram itu dengan perasaan takut yang sangat luar biasa menekan mental
mereka. Seketika saat Reihan dan Nino masuk ke rumah tua itu, tiba-tiba rumah
itu menjadi sebuah kuburan yang sangat mencekam batin mereka, sadar dengan hal
itu mereka berdua terkejut dan merasa syok yang amat mencekik otak.
“Ah, sialan No, ni kan kuburan No!
Gimana No nasib kita?” ketakutan Reihan semakin memuncak kaetika dia memandang
sekeliling kuburan itu.
“Gua juga nggak tahu Han, pokonya
kita harus cari jalan keluar ke tenda kita, gimanapun caranya kita harus bisa
keluar dari hutan sialan ini. Ni akibanya kita tadi gak mau dengerin nasehat
tuh kakek tua.” Saat Nino marah-marah dengan situasi yang sedang
memperangkapnya, Reihan memandangi sekeliling kuburan itu, bawah atas kanan
kiri depan belakang, ia lihat dengan perasaan yang sangat tidak enak serta
keringat dingin yang semakin deras mengalir. Saat ia menoleh ke belakang, Reihan
melihat di atas nisan ada seorang yang sedang berdiri membawa kepalanya
sendiri, seketika Reihan berbisik pada Nino,
“No,lihat di belakang lo, ada hantu gak punya
kepala” bisik Reihan pada Nino dengan nada yang sangat lirih dan badan yang
gemetar, dan Nino pun menoleh ke belakang,
“Mana? Lo jangan nakut-nakutin gua
deh, gak lucu tau gak Han.” Mereka berjalan melewati nisan demi nisan yang
tertancap kokoh pada tanah pembaringan raga yang tidak berdaya. Tibalah mereka di
sebuah makam yang sangat tua, kemudian mereka berdua mendekati makam itu
perlahan lahan. Tak sadar mereka berdua sejenak duduk di atas makam itu,
“Ah, ini gara-gara lo sih Han, lo
gak mau dengerin kata-kata kakek-kakek tua itu,” tandas Nino pada Reihan,
“Woy, nyadar bro, lo juga kan gak
mau ndengerin kata-kata tuh kakek tua, ya gini jadinya,” balas Reihan.
“Dah kita nggak usah berantem,
sekarang kita harus berpikir keras buat keluar dari kuburan sialan ini.”
“Pruk,” suara aneh dan membuat
merinding bulu kuduk mereka berdua terdengar dari bahu mereka berdua,
“Han, jangan ngagetin gua napa?”
kemudian Reihan juga mengatakan hal yang sama pada Nino.
“Gua nggak ngagetin lo bro,” kata
Nino pada Reihan,
“Trus siapa yang nepuk bahu gua?” Reihan
penasaran. Serontak mereka berdua menoleh
ke belakang, mereka terkejut dengan apa yang ada di belakang mereka. sesosok hantu
yang sangat menakutkan yang tak lain adalah sundel bolong. Reihan dan Nino
spontan langsung lari terbirit-birit dan mereka hampir menangis dan terus
berlari sekuat mereka. Di tenda, Cintia dan Tasya memutuskan untuk mencari
kedua temannya, Reihan dan Nino. Mereka mulai melakukan perjalanan mencari
teman-teman mereka yang sedang mencari kayu bakar setahu mereka, di tengah
perjalanan mereka juga tersesat sampai ke dalam hutan yang sangat seram, hutan
yang menyimpan segala misteri yang tersimpan berjuta-juta tahun yang lalu dan
mereka hanya berbekal sebuah senter usang yang mereka bawa dari rumah. Sampailah
Cintia dan Tasya di sebuah sumur tua di bawah pohon kenanga yang sangat besar
dan beraroma sangat harum menyentak hidung siapapun yang mendekatinya.
Samar-samar Cintia melihat sesosok nenek
tua yang sedang mencuci di sumur tua itu, kemudian Cintia dan Tasya
bertanya-tanya dalam hati mereka, kenapa ada seorang nenek-nenek selarut itu
mencuci pakaian sendirian di tempat yang seseram itu. Nenek itu pun memandang
ke arah dua gadis itu dengan mata yang menyala merah, serentak hati kedua gadis
itu pun menjadi kaku dan beku. Dengan perasaan takut melilhat nenek yang
sebenarnya adalah hantu pohon kenanga, Cintia berteriak,
“Hantuuuu, lari Sya, hantuuu, lari,”
mereka lari terbirit-birit meninggalkan sumur tua yang sangat angker dan seram
itu.
“Sya, tungguin gua,” teriak Cintia
yang terjatuh tersandung batu, tanpa pikir panjang Tasya membantu Cintia yang
terjatuh untuk bangun dan kembali berlari meninggalkan sumur itu sejauh
mungkin, tanpa diduga sama sekali oleh mereka ,di belakang mereka hantu yang hanya ada kepala dan organ dalam
yang terlihat terbang mengejar mereka semakin dekat. Mereka semakin kencang
berlari dan semakin ketakutan.
“iiihhhaaaa iiiihhhhaaa kalian harus
tinggal bersama kami disini, iiihhhaaaa iihhhaaa,” hantu itu berteriak seperti
itu pada dua gadis itu. Namun mereka tidak mengindahkan kata-kata yang terus
mengikuti mereka yang seakan tidak akan ada hentinya.
Setelah
berlari dan terus berlari menjauh dari sumur tua dan hantu-hantu yang
menghantuinya, sampailah mereka di sebuah tempat yang agak luas. Di tempat itu
Cintia dan Tasya berpelukan sembari menangis.
“Sya, seandainya kalau kita mati di
sini, aku minta maaf sama kamu kalau aku punya banyak dosa sama kamu,” bisik
Cintia pada Tasya yang pada saat itu sudah pasrah. Dari arah belakang terdengar
suara cekikikan anak-anak kecil yang hanya memakai popok dengan kepala gundul
dan mata yang merah,
“Sya, lari ada tuyul, lariii Syaaaa, ayo kita
pergi dari sini.” Dari arah yang berlawanan mereka bertabrakan dengan dengan
Reihan dan Nino,
“Bruukk,” suara itu terdengar saat
mereka bertabrakan satu sama lain.
“Akhirnya kita ketemu di sini temen-temen,”
kata salah seorang dari mereka.
“kita harus keluar dari hutan busuk
ini, harus pokoknya,” kata Tasya kenudian diikuti anggukan semua teman-teman
tasya.
“Tring tring tring,” ponsel Tasya
berbunyi, kemudian ia membukanya, serontak mereka berempat terkejut, di dalam
ponsel Tasya masuk pesan berdarah yang tidak ada nomor pengirimnya, pesan itu juga sama persis dengan
pesan yang ada di ponsel Reihan yang isinya “Kalian harus mati.” Kemudian
mereka saling berpelukan,
“Oke guys, kalau seandainya kita
memang harus mati di tempat ini, aku minta maaf pada kalian atas semua salah gua, dan kita
saling memaafkan satu sama lain,” kata Reihan yang sudah putus asa, dengan keadaan
berpelukan dan menangis takut , di belakang mereka datang hantu-hantu yang
mereka jumpai saat itu, mereka lari dengan saling bergandengan satu sama lain.
Naasnya mereka terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam dan sangat curam.
Mereka terjatuh ke dasar jurang dengan keadaan masih saling bergandengan,
kemudian Reihan dengan kondisi yang terluka parah, dengan kakinya yang hilang
separuh dan kepalanya berdarah, Reihan membisikkan beberapa kalimat pada
teman-temannya,,
“Kalian teman yang paling baik yang
pernah kumiliki, aku bersyukur punya teman seperti kalian, kalian adalah teman
sekaligus keluarga kedua bagiku, kalian sebagian dari hidupku, aku sayang
padamu kawan, dan aku tidak pernah menyesal mengenal kalian.” Reihan
membisikkan kata-kata itu dengan penuh kasih sayang yang membuat temannya
menangis histeris tak kuasa menahan air mata yang terus mengalir. Sesaat
kemudian mereka berempat meninggal dunia dengan keadaan yang sangat
mengenaskan, dengan sebagian tubuh mereka terpisah dan sebagian tubuh mereka
dimakan binatang buas. Sejak saat itu pada saat malam Jumat Kliwon banyak
korban yang mati di tempat itu dengan keadaan yang mengenaskan seperti yang
dialami oleh keempat pemuda itu.
Karya
: Irawan Budi Santoso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar